Terjawab! Ini Biang Kerok 8,5 Juta Kelas Menengah Turun ‘Kasta’

Foto: Ilustrasi Kelas Menengah RI/ Ilham Restu

Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia menyebut 8,5 juta kelas menengah turun ke kelas ekonomi yang lebih rendah selama periode 2018-2023. Jumlah kelas menengah RI ini diperkirakan turun menjadi 52 juta jiwa pada 2023, dibandingkan 60 juta jiwa pada 2018.

Kelompok ini diduga kesulitan mencari pekerjaan yang layak atau masih mengandalkan pekerjaan informal sehingga daya beli mereka rentan dan kerap tergerus inflasi.

Peneliti LPEM UI Teuku Riefky mencatat kelas menengah berkontribusi lebih dari 75% angkatan kerja di Indonesia. Namun, sebagian besar calon kelas menengah atau aspire middle class (AMC) dan kelas menengah bekerja di sektor dengan produktivitas rendah, seperti pertanian dan jasa bernilai tambah rendah.

Riefky mengatakan pada 2014 jumlah calon kelas menengah dan kelas menengah yang bekerja di dua sektor itu porsinya sebesar 72,6%. Pada 2023 proporsinya tak banyak berubah di angka 72,3%.

“Ini mengindikasikan tidak adanya perbaikan signifikan dari mobilitas tenaga kerja menuju sektor yang lebih produktif,” kata Riefky dalam hasil riset LPEM UI, dikutip Jumat, (9/8/2024).

Pekerjaan di sektor yang lebih produktif berarti pendapatan yang lebih besar.LPEM mencatat walaupun ada sedikit kenaikan dari porsi calon kelas menengah yang bekerja di sektor jasa bernilai tambah tinggi, kebanyakan dari mereka juga berpindah ke sektor pertanian. LPEM juga mencatat porsi kelas menengah yang bekerja di sektor manufaktur menurun dalam satu dekade terakhir dari 13,3% menjadi 12,7%.

Kondisi kelas menengah RI pun tak banyak berbeda dari calon kelas menengah. Porsi kelas menengah yang bekerja di sektor dengan nilai tambah rendah pada 2014 mencapai 73,4%. Kondisi itu hanya sedikit membaik di 2023 menjadi 72,4%.

Riefky mengatakan hingga saat ini lebih dari separuh pekerja kelas menengah masih berada di sektor jasa bernilai tambah rendah. Dalam sepuluh tahun terakhir, sebagian besar kelas menengah yang berhasil keluar dari sektor jasa bernilai tambah rendah, justru masuk ke sektor serupa, yaitu pertanian.

“Walaupun sebagian kecil porsi pekerja kelas menengah berhasil masuk ke jasa bernilai tambah tinggi, porsi kelas menengah yang bekerja di sektor manufaktur cenderung stagnan,” ujar dia.

Riefky menilai tren konsentrasi yang tinggi pekerja calon kelas menengah dan kelas menengah pada sektor bernilai tambah rendah cukup mengkhawatirkan. Sektor-sektor ini cenderung menawarkan upah yang lebih rendah dan bersifat informal.

“Sehingga kepastian dalam bekerja cenderung rendah dan memiliki jaminan sosial yang minim,” ungkapnya.

Lebih jauh, dia mengatakan situasi ini menyiratkan kurangnya penciptaan lapangan kerja atau adanya hambatan struktural yang menghalangi kelas menengah dan calon kelas menengah untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik.

“Jika tidak segera diatasi, calon kelas menengah dan kelas menengah mengalami risiko tinggi mendapatkan penghasilan yang rendah dan buruknya kualitas pekerjaan di masa mendatang,” ujar Riefky.

Sebelumnya, sejumlah ekonom termasuk dari LPEM UI memperkirakan jumlah kelas menengah di Indonesia terus mengalami penyusutan. Pada periode 2018-2023, proporsi kelas menengah dari populasi menyusut dari angka 23% menjadi sekitar 17%-18%. Penurunan porsi kelas menengah ini mengkhawatirkan, sebab kelas mayoritas ini adalah motor konsumsi yang menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Senada dengan temuan LPEM UI, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Telisa Aulia Falianty mengatakan terjadi perubahan struktur tenaga kerja di Indonesia setelah pandemi Covid-19. Dia mengatakan saat ini Indonesia memiliki banyak pekerja informal.

Menurut dia, banyaknya pekerja informal ini yang menyebabkan daya beli masyarakat melemah. “Daya beli yang tergerus juga berhubungan dengan struktur tenaga kerja yang didominasi sektor informal,” kata Telisa.

Berdasarkan data Sakernas Februari 2024, jumlah penduduk yang bekerja di Indonesia mencapai 142,18 juta orang. Dari jumlah itu, mereka yang menjadi pekerja penuh mencapai 93,27 orang.

Sementara, mereka yang bekerja paruh waktu sebanyak 36,80 juta atau turun 0,08 juta dibandingkan Februari 2023. Namun, mereka yang masuk kategori setengah pengangguran tercatat melonjak hingga 12,11 juta orang atau naik 2,52 juta penduduk.

“Jumlah setengah pengangguran yaitu orang yang bekerja di bawah 35 jam per minggu lebih besar dan jumlahnya terus meningkat yakni mencapai 12,11 juta orang dari periode sebelumnya,” kata Telisa.

Telisa menilai sektor informal ditandai dengan pendapatan yang tidak pasti. Akibatnya hal itu mempengaruhi daya beli pekerja di sektor informal ini.

Telisa mengatakan banjir pekerja informal ini terjadi karena beberapa faktor. Salah satunya disebabkan oleh banyaknya perusahaan yang lebih suka merekrut pekerjanya dengan sistem outsourcing. Dia bilang praktik perekrutan menggunakan sistem outsourcing semakin marak sejak Undang-Undang Cipta Kerja.

“Karena perusahaan memang lebih suka outsourcing,” katanya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*