Pemerintah menyadari bahwa riset kelapa sawit yang mengarah komersialisasi masih tergolong jarang di Indonesia. Padahal bisnis sawit setiap tahunnya berputar Rp 800 triliun per tahun.
Direktur Jenderal Industri Agro, Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Putu Juli Ardika menilai hal itu menjadi pekerjaan rumah bersama lintas sektoral. Apalagi melihat potensi Indonesia yang merupakan produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia.
“Sampai saat ini penelitian-penelitian sawit jarang di Indonesia yang komersialisasi, sangat jarang, masih di negara-negara lain, ini PR kita. Gimana SDM sudah dikembangkan? gimana perusahaan itu bisa memindahkan riset dan development-nya ke Indonesia? jadi ini tantangan luar biasa, semestinya itu ada di RI karena kita yang paling besar di dunia untuk sawit dan turunannya, dan ini coba gimana memperbaiki sistem kita untuk riset benar-benar dimanfaatkan semaksimal mungkin,” kata Putu di Pekan Riset Sawit Indonesia (Perisai) 2024 di Nusa Dua, Jumat (4/10/2024)
Indonesia merupakan negara produsen sawit terbesar di dunia dengan total produksi lebih dari 56 juta ton dan ekspor mencapai 26,33 juta ton, sedangkan Malaysia hanya 1/3 di antaranya atau sekitar 19,3 juta ton pada 2023 lalu. Namun pengembangan industri sawit RI ternyata masih ketinggalan dari negara tetangga.
“Industri sawit bisa contoh, ini jadi model pengembangan keberhasilan kita dalam hilirisasi industri, 10 tahun yang lalu produk kita 50an, sekarang mendekati 200 jenis produk, meskipun masih kalah dengan Malaysia karena mereka punya 200 lebih jenis produk. Lebih bagus kalau kita melakukan konsorsium ada champion-nya di dalam kembangkan riset ini,” sebut Putu.
Dari sisi kontribusi kepada ekonomi dan ekspor nasional, peran sawit juga tergolong vital karena menyumbang angka yang tinggi, bahkan menyentuh dua digit.
“Data 2023 nilai ekspor kelapa sawit dan turunan capai Rp 460 triliun, jadi bisnisnya sendiri diperkirakan mendekati Rp 800 triliun atau sebesar 11,6% dari total ekspor non migas dan menyerap 16,2 juta tenaga kerja langsung dan tidak langsung,” ujar Putu
Ke depan, pengembangan industri hilir kelapa sawit difokuskan pada pengelolaan Minyak nabati sawit dan Biomassa Kelapa Sawit untuk mendapatkan nilai tambah yang maksimal, sehingga petani rakyat mendapatkan harga beli Tandan Buah Segar (TBS) yang remuneratif karena seluruh bagian dari buah kelapa sawit mempunyai nilai ekonomi tinggi.
“Apapun kebijakan harus melihat dampak langsung ke petaninya. Pengembangan hilirisasi sawit dan turunan sesuai Perpres 74/2022 dalam kebijakan industri nasional, sawit jadi model dan contoh sukses hilirisasi industri jadi baik untuk hasilkan turunan sawit pangan atau oleofood, oleochemical dan biofuel pada skala industri berkelanjutan,” ujar Putu.